Senin, 01 Agustus 2011

“Baskoro T Wardaya: Kalau Pembelajaran Sejarah Hilang, Hilang pula Indonesia”



11-10-2009
Oleh: Rhoma Dwi Aria Yuliantri

http://belajarsejarah.com/upload/Baskoro1.JPG
Romo DR. Baskoro T Wardaya,direktur Pusdep, lebih konsentrasi
ke sejarah pasca kemerdekaan secara formal ilmiah.
Dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan penulis buku
“Bung Karno Menggugat", ‘Mencari Supriyadi” dan lainnya.

P: Bagaimana  seharusnya pembelajaran sejarah yang ideal di Sekolah?
B : Menurut saya pembelajaran sejarah itu diajarkan dengan cara yang  kreatif dan imanjinatif, kreatif dalam arti tidak satu cara yang dipakai, dulu kan model ceramah. Guru menguraikan lalu murid/mahasiswa mencatat kemudian ujian. Sejarah harusnya diajarkan dengan cara kreatif dengan beberapa cara yang dipakai dengan ceramah di kelas, menulis paper, mengadakan penelitian kecil-kecilan, membandingkan teks-teks yang ada dengan pemutaran film, lalu sejarah menjadi sesuatu yang menarik kalau diajarkan secara kratif, dan imajinatif. Kalau kita bicara menggenai peristiwa masa lalu hendaknya jangan hanya menjadi sesuatu yang berjarak saja tetapi masa lalu itu kita bayangkan hidup sampai sekarang karena secara defakto penggaruhnya tetap ada sampai sekarang,, kita mengimajinasikan atau mendorong mahasiswa untuk berimajinasi mengenai kaitan peristiwa yang terjadi di masa lalu dengan peristiwa setelahnya jadi ada keterhubungan antara yang dulu dan sekarang bahkan dengan yang masa depan dengan adanya imajinasi itu sejarah jadi menarik.
P: Pembelajaran Sejarah mendapat alokasi waktu 1 jam,  bagaimana kalau harus imajinatif atau kreatif dengan waktu yang relative pendek?
B:Ya itu saya kira menjadi masalah, tadi yang saya katakan idealnya.  Dan memang seharusnya sejarah itu lebih dari satu jam, saya kira itu ada ketidaktahuan atau motif politik untuk membuat orang Indonesia lupa pada sejarahnya sendiri. Motif politik itu bisa karena inggin menggati dengan sejarah lain atau juga bisa karena ketakutan keterbongkarnya kejahatan di masa lalu. Menurut saya idealnya dan kalau bisa dan saya kira harus diperjuangkan pelajaran sejarah itu lebih dari 1 jam dalam seminggu minimal 2 jam, syukur bisa 3  jam (1 kali pertemuan 1,5 x 2) atau gimana gitu. Tapi defakto cuman 1 jam itu gimana caranya menurut saya begini itu yang harus membuat kita kreatif tadi. Memang tatap muka 1 jam atau 50 menit, tapi siswa diberi PR (pekerjaan rumah) untuk melakukan penelitian diluar kelas sedangkan dikelas tinggal melaporkan dan diskusi syukur-syukur ada ekstrakurikuler yang bicara mengenai sejarah jadi waktu 1 jam itu hanya formalitas, tetapi selebihnya sewa tetep bisa menggembangkan minat sejarah di luar yang resmi, Misalnya begini kalau mau kreatif sekolah mengganjurkan anak-anak menulis paper sejarah diakhir  semester yang terbaik mendapat hadiah, apapunlah bentuknya jadi kan terangsang kalau begitu di luar mereka tetap akan belajar sejarah. Nah ini yang saya maksud belajar dengan kreatif dan imajinatif tadi kalau memang anaknya seneng pasti di luar satu jam akan tetap belajar  sejarah menurut saja. Itu cara lain bisa ditempuh cara-cara lain.
P: Untuk materi-materi kontroversial di tingkat SMA disampaiakan seperti apa?
B: Ini susah, idealnya kontroversial atau tidak kalau itu penting dalam sejarah kita harus dibicarakan. Yang kedua kontroversial atau tidak kan pandangan orang. Itu sebuah peristiwa masa lalu adalah peristiwa tentang kontroversial atau tidak itu kan tinggal perspektif orang melihatnya. Jadi harus dibedakan ini. Wah ada peristiwa sejarah yang langsung kontroversial itu nggak ada. Kontroversial karena ada pihak yang mamandang begini ada yang memandang begitu. Tetapi kalau dari perpektif itu ya apapun itu kontroversial karena setiap realitas bisa dilihat dari pelbagai segi menjadi kontroversial karena kepentingan dia terancam lalu dia menggatakan kontroversial kalau kepentingan dia tidak terancam ya dia tidak akan mengatakan itu kontroversial. Jadi istilah kontroversial harus diperjelas dulu, kalau kontroversial itu sejauh yang merugikan kepentinganmu itu subjektif sekali semacam itu tapi yang lain harus di cek dulu juga  mengapa kontroversial. Siapa yang mengagap itu kontroversial? Maka menurut saya bahkan peristiwa yang controversial itu perlu diajarkan pada siswa. Dalam arti gini apa peristiwanya? Menggapa ini dipandang kontroversial?dan siapa yang mengatakan ini kontroversial? dan kira-kira kepentingannya apa kok di mengatakan ini kontroversial? Kalau itu bisa diajarkan saya kira mahasiswa atau siswa akan dengan semangat mempelajari sejarah bukan hanya pada peristiwanya tapi bagaimana kepentingan-kepentingan itu terlibat di dalam memandang peristiwa itu. Nah sekarang caranya gimana? Bagaimanapun juga guru nasibnya tergantung dari atasnya juga. Caranya mungkin kalau ngak berani: Tunjukan saja bukunya judul bukunya xxx, suruh nyari sendiri anak-anak lalu bikin report setelah itu gurunya kan tidak menggajarkan apa-apa hanya menunjukan saja, peritiwa kontroversial ini bukunya ini silahkan baca dan tangapi lalu dideskusikan. Selalu ada jalan keluar menurut saya.
P: Banyak guru yang bepegangan buku paket sedangkan diluar kurikulum banyak buku-buku yang beredar dengan pandangan berbeda dari buku paket, guru lalu kebinggungan. Nah bagaimana ini?
B: Namanya kebingungan tidak mudah mencari jalan keluarnya. Tapi pada saat yang sama bisa ditempuh cara misalnya begini guru tetap menggatakan apa yang diminta kurikulum tetapi juga menggatakan bahwa diluar kurikulum ada pandangan yang berbeda. Nah yang bisa saya ajarkan dalam satu jam ini yang sesaui kurikulum untuk pandanan yang berbeda silahkan cari sendiri minggu depan kita bicarakan, Gitu lo. Jadi guru tetep sah karena menggajarkan sesuai kurikulum yang berbeda kepada siswa ia terus terang menggatakan ini salah satu cara melihat peristiwa itu ada cara lain bukunya ini karena waktu kita ngak ada silahkan cari sendiri silahkan buat ringkasan minggu depan kita bicarakan, disini jadi murid diperkaya mendapat versi resmi dan versi-versi yang lain jadi siswa diperkaya mendapat versi yang resmi dan mendapat versi yang lain apalagi kalau dibagi dalam  kelompok silahkan melihat ini –ini yang berbeda- lalu nanti kita diskusikan dipertemuan kelas berikutnya  disana ada diskusi lalu peritiwa masa lalu tidak menjadi sumber pengetahuan saja tetapi menjadi sumber diskusi pemikikan sumber wacana ya, lalu anak menjadi kristis anak menjadi berpandangan lebih luas bahwa setiap peristiwa bisa dipandang dari pelbagai perfektik.
P: Seberapa penting pelajaran sejarah?
B: Pilihannya hanya dua, penting atau nyaris mutlak menurut saya. Mengapa? Ada beberapa alas an (1) sejarah itu bukan hanya masalah mengetahui apa yang terjadi di masa lalu teteapi juga melihat bagaimana masa lalu itu diceritakan oleh perbagai kelompok dengan berbagai kepentingan masing-masing sekaligus dengan belajar perpektif yang berbeda kita juga harus menentukan perpektif kita sendiri kan? Lalu belajar sejarah menjadi sarana untuk berfikir secara kreatif dan harus menentukan sikap pada akhirnya, saya setuju dengan yang ini atau dengan yang itu. Sejarah itu sangat edukatif dan ini berdasarkan naratif artinya mudah dipahami bukan berdasarkan angka atau statistic atau kisah khayalan ini realitas yang pernah terjadi jadi pasti menarik kalau caranya bener cocok. (2) sementara negara jepang ditentukan etnisitas yang sama, atau autralia ditentukan oleh kondisisi geografis tertentu kita ini kan secara geografis terpisah-etnisnya beda-beda bahasanya tidak sama, agamanya juga berlainan tetapi kita sebagai bangsa kita bisa bersatu apa yang menyatukan kita sejarah kan yaitu penggalaman dijajah belanda bersama-sama dengan pusatnya Batavia dnegan model pemerintahan yang sentralistik dan penderitaan yang dialami itu kan yang membuat Indonesia  karena sebelum Belanda datang belum ada Indonesia baru awal abad 20, lalu yang membuat Indonesia itu apa? Sejarah bukan persamaan etnis, bukan persamaan pulau, bukan persamaan faktor lain ya kecuali sejarah ya kalau sejarah itu hilang hilang pula Indonesia menurut saya itu yang membuat sejarah mutlak.
P: Yang membedakan historiografi Sejarah Indonesia dan Historiografi Pendidikan Sejarah Apa?
B: Dalam pendidikan itu kan yang ditekankan aspek edukatifnya, jadi menggajar sebagai bagian proses edukatif edukasi siswa, edukasi formal katakanklah kalau sekolah belajar sejarah ada ujian untuk kelulusan tapi di masyarakat ngak ada ujian. Di masyarakat itu tadi sejarah itu penting misalnya,  untuk membina Siece of Nation Hood, rasa ke Indonesiaan, kedua sebagai masyarakat kita ingin belajar kalau di masa lalu terjadi pelangaran HAM  yang dasyat sekarang bagaimana caranya untuk menghindari supaya tidak terjadi jadi di masyarakat tujuannya lebih luas yang sifatnya informal tetapi penting juga.
P: Kalau untuk pendidikan sejarah apakah perlu dimunculkan semua peristiwa atau dihilangkan satu periode atau peristiwa tertentu?
B: Kalau menghilangkan satu periode degan sengaja itu bagaimanapu juga menurut saya akan merugikan untuk jangka panjang karena ada bagian yang hilang nanti membuat membuat itu perjalanan menjadi pincang.. Kedua, biasanya yang dihilangkan itu karena sebuah kelompok tertentu itu sedang berkuasa sehingga ingin itu dihilangkan nanti kalau berkuasa kelompok lain kan kepentingannya beda kalau tradisi itu dibiarkan nanti setiap ada yang berkuasa ada bagian ada bagian yang hilang, kalau yang berkuasa baru ada bagian yang baru yang hilang. Bolong-bolong nanti pemahan sejarah kita.  Harusnya tidak usah dihilangkan supaya pengetahuan siswa tentang sejarah itu selengkap mungkin,lengkap sekali tidak mungkin karena waktunya terbatas tapi setidaknya selengkap mungkin dan tidak usah direcoki tidak usah diganggu oleh kepentinggan politis di luar lembaga pendidikan tentunya.
( belajarsejarah.com)





DISKUSI PUBLIK “PELARANGAN BUKU : MENUTUP JENDELA DUNIA”

DISKUSI PUBLIK “PELARANGAN BUKU : MENUTUP JENDELA DUNIA”
                Tepat pada 31 Mei 2010 digelar  Diskusi Publik dengan tema “Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia”, di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Narasumber diskusi tersebut antara lain Eko Prasetyo (Resist Book), Hairus Salim (Budayawan LKIS), Melani Budianta (Dosen FIB UI) dan Stanley Adi Prasetyo (Komnas Ham) untuk sesi pertama. Diskusi diikuti oleh sekitar 25 peserta dari berbagai latar belakang, seperti pelajar, mahasiswa, LSM, tukang becak, survivor, seniman.
                Pelarangan pamflet, buku-buku mulai terjadi pada tahun 2006. Pertama kali yang dilarang tahun 2006 yaitu pamflet yang ditulis oleh Mas’ud Simanungkalit yang berjudul Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al Qur’an . Kemudian berturut-turut tahun 2007, pelarangan 13 buku teks sejarah yang mengacu pada kurikulum 2004 yang tidak mencantumkan kata “PKI” di belakang G30 S, meskipun akhirnya meluas hingga 54 buku teks sejarah. Kemudian akhir 2009 juga terjadi kembali pelarangan lima buku, diantaranya Dalih Pembunuhan Massal:Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (ISSI dan Hasta Mitra, 2008)karya John Roosa, dan Lekra Tidak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Merakesumba, 2008) karya Muhiddin M Dahlan dan Rhoma Dwi Yulianti, Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, tetesan Darah dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri (Jakarta Timur: Reza Enterprise, Desember 2007)karya Socratez Sofyan Yaman. Buku-buku tersebut dianggap “mengganggu keamanan dan ketertiban umum” oleh Kejaksaan Agung. Sebagai landasan pelarangan buku,  Kejaksaan Agung menggunakan UU peninggalan keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin yaitu No.4/PNPS/1963. Karena pada tahun 2004 DPR mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang cetakan melalui UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Ditakutkan pelarangan buku ini akan terus terjadi selama UU No.4/PNPS/1963 terus dipertahankan. Karena itu, penting diadakan diskusi dan kampanye tentang  penolakan pelarangan buku, karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan juga UUD 1945.
                Banyak kelompok seniman, intelektual, NGO, akademisi maupun individu diantaranya Amor Pati, Bayu Widodo, Blokade, Cacing Masih Segaris, Elsam, Kolektif Kerja Keras, Kampreto Pondok Kelir, Killed on Juarez, Nganti Wani, Nol KM, Resist Book, Sri Gunting, Tawazun, PGRI Band yang prihatin dengan keadaan tersebut. Sehingga diadakan rangkaian diskusi publik dan sekaligus pameran, pertunjukkan buku, bazar dan seni untuk mengkampanyekan kepada masyarakat luas, tentang pelarangan buku ini. Sebab ini juga disinyalir sebagai tanda bahaya lahirnya otoritarianisme baru yang mengancam kebebasan mengeluarkan pikiran melalui tulisan serta hak mendapatkan, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi seperti yang tertulis dalam Pasal 28 UUD 1945 dan yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi selama ini.
                 Dari makalah[1] yang ditulis oleh empat narasumber, mereka setuju bahwa pelarangan buku, apalagi dengan disertai pemusnahan buku dengan cara dibakar adalah hal yang tidak beradab serta melanggar HAM dan UUD 1945 bahkan juga melanggar akal sehat.
                Menurut Melani, disebut intelektual ketika seseorang bisa membangun dan mengembangkan pengetahuannya serta berdialog dan berpartisipasi dengan pengetahuan yang sudah ada. Semua hal itu bisa terjadi dengan membaca buku sebanyak-banyaknya. Jadi bagaimana mungkin masyarakat bisa maju ketika pengetahuan yang bisa didapat dengan membaca buku dibatasi/ dipasung serta ditentukan mana yang boleh dibaca dan mana yang tidak. Bisa dibayangkan kualitas manusia seperti apa yang dihasilkan dengan adanya pelarangan-pelarangan buku ini. Membaca dengan kritis, merupakan latihan ketahanan mental supaya kita tidak gampang terpengaruh. Membuat generasi muda mendapat modal untuk dapat saling adu argumentasi yang berbobot bukan adu otot dan fisik karena pikiran yang picik.
                Menurut Eko Prasetyo, aparat yang melakukan pelarangan buku dengan sweeping di toko-toko buku, bangga melakukannya. Mereka mengambil buku-buku tanpa melihat isinya hanya gambar sampulnya saja. Tapi masih agak beruntung, kita berhadapan dengan masyarakat yang mulai kritis, yang tidak mudah mengikuti arus untuk ikut tidak membaca buku yang “dilarang” oleh penguasa, yang tidak memberikan alasan yang jelas kenapa buku tersebut dilarang. Kegiatan pelarangan buku, melejitkan keingintahuan orang pada buku-buku yang dilarang baik buku “kiri” maupun “kanan”. Adanya pelarangan buku, membuat kita menjadi tahu “tingkat kecerdasan dan kompetensi” yang dipunyai aparat penegak hukum. Dan membangkitkan kembali budaya perlawanan yang perlahan mulai redup, dan mengembalikan buku ke “martabatnya” yang semula yaitu mencerahkan sekaligus menginformasikan.
                Hairus Salim, lebih menguraikan secara umum tentang orthodoksi yang tidak disadari. Dimana ortodoksi ini mempunyai otoritas-otoritas masing-masing. Masih banyak yang belum bisa menerima pendapat lain tentang pemahaman yang diyakini kebenarannya. Dan kepercayaan akan “dosa dan sesat” jika tidak sama dengan yang biasanya.
                Stanley menjelaskannya dalam perspektifnya sebagai Komnas HAM, 12 tahun reformasi belum mampu menghapus watak otoritarian yang ada dalam birokrasi maupun sistem pemerintahan, malahan belakangan semakin menguat. Salah satunya dengan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung, dimana pelarangan buku ini adalah kesembilan kalinya selama periode 2006-2009 dengan jumlah buku yang dilarang 21 buah. Parahnya lagi mekanisme pelarangan buku masih menggunakan model clearing house –berfungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung – yang digagas tahun 1989 di mana yang berperan dominan adalah dari unsur intelijen dan keamanan seperti BIN, BIA –dulu ABRI – , intelijen Kejaksaan, dan intelijen POLRI.  Stanley juga menceritakan kasus-kasus aneh yang muncul di Jawa Tengah setiap bulan Juli, misalnya saja permen dengan bungkus bergambar palu arit, bolpoin yang ada gambarnya Mou Tse Tung, Kaos dengan tulisan darah PKI dan lain-lain. Kemudian akan muncul komentar-komentar dari eksponen 66  dan juga aparat tentang bahaya laten komunis, yang pada intinya mengajak masyarakat mengingat kembali “bahaya komunisme” dan mengingat jasa para pahlawan –khususnya militer yang telah memberantas komunisme dan menyelamatkan bangsa Indonesia – menurut versi yang berkuasa tentunya.
                Ada beberapa pertanyaan dari peserta yang menarik yaitu bagaimana menyediakan layanan buku-buku yang berkualitas dan dapat diakses oleh masyarakat banyak? Dan kenapa buku-buku yang menceritakan kisah tentang orang Papua juga dilarang?
                Perpustakaan sebenarnya bisa, tapi bagaimana jika buku-buku di perpustakaan sudah diatur, isinya hanya buku-buku yang boleh dibaca oleh masyarakat  dan buku yang “membahayakan” menurut versi penguasa tidak boleh dipinjamkan atau bahkan dihilangkan dari perpustakaan. Oleh sebagian masyarakat, buku juga masih dianggap sebagai barang yang mewah. Berdasarkan penelitian Komnas HAM di Papua, buku yang ditulis oleh Socratez Sofyan Yoman berjudul Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (Yogyakarta: Galang Press, Desember 2007), belum menceritakan semuanya, bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM. Menurut Stanley, berdasarkan penelitian Komnas Ham, kekerasan yang diceritakan dalam buku tersebut, masih belum seberapa dibandingkan hasil temuan dari Komnas Ham.
                Memperbanyak diskusi tentang pelarangan-pelarangan buku untuk menyadarkan masyarakat banyak, adalah salah satu cara, jelas Melani Budianta. Intelektualitas sebenarnya ada di masyarakat, bukan hanya milik Perguruan Tinggi, malahan jarang ada intelektual yang benar-benar intelektual.
                Jadi pada intinya, pelarangan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan mekanismenya jelas melanggar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang telah diadopsi dalam UUD 1945 Pasal 28, UU No.30 Tahun 1999 tentang HAM, UU No.12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, dan UU Pers No.40 Tahun 1999. Selain itu juga bertentangan dengan semangat reformasi 1998, sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. XVII Tahun 1998, juga tidak sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Diskusi Publik tentang pelarangan buku ini memang seharusnya dilakukan secara teratur dan di semua kota-kota di seluruh di Indonesia. (PA).





[1] Kumpulan Makalah Diskusi dan Katalog Acara “Pelarangan Buku : Menutup Jendela Dunia”, Diskusi Publik-Pameran-Pertunjukkan-Bazar Buku & Seni, Senin, 31 Mei 2010.