Senin, 01 Agustus 2011

DISKUSI PUBLIK “PELARANGAN BUKU : MENUTUP JENDELA DUNIA”

DISKUSI PUBLIK “PELARANGAN BUKU : MENUTUP JENDELA DUNIA”
                Tepat pada 31 Mei 2010 digelar  Diskusi Publik dengan tema “Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia”, di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Narasumber diskusi tersebut antara lain Eko Prasetyo (Resist Book), Hairus Salim (Budayawan LKIS), Melani Budianta (Dosen FIB UI) dan Stanley Adi Prasetyo (Komnas Ham) untuk sesi pertama. Diskusi diikuti oleh sekitar 25 peserta dari berbagai latar belakang, seperti pelajar, mahasiswa, LSM, tukang becak, survivor, seniman.
                Pelarangan pamflet, buku-buku mulai terjadi pada tahun 2006. Pertama kali yang dilarang tahun 2006 yaitu pamflet yang ditulis oleh Mas’ud Simanungkalit yang berjudul Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al Qur’an . Kemudian berturut-turut tahun 2007, pelarangan 13 buku teks sejarah yang mengacu pada kurikulum 2004 yang tidak mencantumkan kata “PKI” di belakang G30 S, meskipun akhirnya meluas hingga 54 buku teks sejarah. Kemudian akhir 2009 juga terjadi kembali pelarangan lima buku, diantaranya Dalih Pembunuhan Massal:Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (ISSI dan Hasta Mitra, 2008)karya John Roosa, dan Lekra Tidak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Merakesumba, 2008) karya Muhiddin M Dahlan dan Rhoma Dwi Yulianti, Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, tetesan Darah dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri (Jakarta Timur: Reza Enterprise, Desember 2007)karya Socratez Sofyan Yaman. Buku-buku tersebut dianggap “mengganggu keamanan dan ketertiban umum” oleh Kejaksaan Agung. Sebagai landasan pelarangan buku,  Kejaksaan Agung menggunakan UU peninggalan keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin yaitu No.4/PNPS/1963. Karena pada tahun 2004 DPR mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang cetakan melalui UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Ditakutkan pelarangan buku ini akan terus terjadi selama UU No.4/PNPS/1963 terus dipertahankan. Karena itu, penting diadakan diskusi dan kampanye tentang  penolakan pelarangan buku, karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan juga UUD 1945.
                Banyak kelompok seniman, intelektual, NGO, akademisi maupun individu diantaranya Amor Pati, Bayu Widodo, Blokade, Cacing Masih Segaris, Elsam, Kolektif Kerja Keras, Kampreto Pondok Kelir, Killed on Juarez, Nganti Wani, Nol KM, Resist Book, Sri Gunting, Tawazun, PGRI Band yang prihatin dengan keadaan tersebut. Sehingga diadakan rangkaian diskusi publik dan sekaligus pameran, pertunjukkan buku, bazar dan seni untuk mengkampanyekan kepada masyarakat luas, tentang pelarangan buku ini. Sebab ini juga disinyalir sebagai tanda bahaya lahirnya otoritarianisme baru yang mengancam kebebasan mengeluarkan pikiran melalui tulisan serta hak mendapatkan, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi seperti yang tertulis dalam Pasal 28 UUD 1945 dan yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi selama ini.
                 Dari makalah[1] yang ditulis oleh empat narasumber, mereka setuju bahwa pelarangan buku, apalagi dengan disertai pemusnahan buku dengan cara dibakar adalah hal yang tidak beradab serta melanggar HAM dan UUD 1945 bahkan juga melanggar akal sehat.
                Menurut Melani, disebut intelektual ketika seseorang bisa membangun dan mengembangkan pengetahuannya serta berdialog dan berpartisipasi dengan pengetahuan yang sudah ada. Semua hal itu bisa terjadi dengan membaca buku sebanyak-banyaknya. Jadi bagaimana mungkin masyarakat bisa maju ketika pengetahuan yang bisa didapat dengan membaca buku dibatasi/ dipasung serta ditentukan mana yang boleh dibaca dan mana yang tidak. Bisa dibayangkan kualitas manusia seperti apa yang dihasilkan dengan adanya pelarangan-pelarangan buku ini. Membaca dengan kritis, merupakan latihan ketahanan mental supaya kita tidak gampang terpengaruh. Membuat generasi muda mendapat modal untuk dapat saling adu argumentasi yang berbobot bukan adu otot dan fisik karena pikiran yang picik.
                Menurut Eko Prasetyo, aparat yang melakukan pelarangan buku dengan sweeping di toko-toko buku, bangga melakukannya. Mereka mengambil buku-buku tanpa melihat isinya hanya gambar sampulnya saja. Tapi masih agak beruntung, kita berhadapan dengan masyarakat yang mulai kritis, yang tidak mudah mengikuti arus untuk ikut tidak membaca buku yang “dilarang” oleh penguasa, yang tidak memberikan alasan yang jelas kenapa buku tersebut dilarang. Kegiatan pelarangan buku, melejitkan keingintahuan orang pada buku-buku yang dilarang baik buku “kiri” maupun “kanan”. Adanya pelarangan buku, membuat kita menjadi tahu “tingkat kecerdasan dan kompetensi” yang dipunyai aparat penegak hukum. Dan membangkitkan kembali budaya perlawanan yang perlahan mulai redup, dan mengembalikan buku ke “martabatnya” yang semula yaitu mencerahkan sekaligus menginformasikan.
                Hairus Salim, lebih menguraikan secara umum tentang orthodoksi yang tidak disadari. Dimana ortodoksi ini mempunyai otoritas-otoritas masing-masing. Masih banyak yang belum bisa menerima pendapat lain tentang pemahaman yang diyakini kebenarannya. Dan kepercayaan akan “dosa dan sesat” jika tidak sama dengan yang biasanya.
                Stanley menjelaskannya dalam perspektifnya sebagai Komnas HAM, 12 tahun reformasi belum mampu menghapus watak otoritarian yang ada dalam birokrasi maupun sistem pemerintahan, malahan belakangan semakin menguat. Salah satunya dengan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung, dimana pelarangan buku ini adalah kesembilan kalinya selama periode 2006-2009 dengan jumlah buku yang dilarang 21 buah. Parahnya lagi mekanisme pelarangan buku masih menggunakan model clearing house –berfungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung – yang digagas tahun 1989 di mana yang berperan dominan adalah dari unsur intelijen dan keamanan seperti BIN, BIA –dulu ABRI – , intelijen Kejaksaan, dan intelijen POLRI.  Stanley juga menceritakan kasus-kasus aneh yang muncul di Jawa Tengah setiap bulan Juli, misalnya saja permen dengan bungkus bergambar palu arit, bolpoin yang ada gambarnya Mou Tse Tung, Kaos dengan tulisan darah PKI dan lain-lain. Kemudian akan muncul komentar-komentar dari eksponen 66  dan juga aparat tentang bahaya laten komunis, yang pada intinya mengajak masyarakat mengingat kembali “bahaya komunisme” dan mengingat jasa para pahlawan –khususnya militer yang telah memberantas komunisme dan menyelamatkan bangsa Indonesia – menurut versi yang berkuasa tentunya.
                Ada beberapa pertanyaan dari peserta yang menarik yaitu bagaimana menyediakan layanan buku-buku yang berkualitas dan dapat diakses oleh masyarakat banyak? Dan kenapa buku-buku yang menceritakan kisah tentang orang Papua juga dilarang?
                Perpustakaan sebenarnya bisa, tapi bagaimana jika buku-buku di perpustakaan sudah diatur, isinya hanya buku-buku yang boleh dibaca oleh masyarakat  dan buku yang “membahayakan” menurut versi penguasa tidak boleh dipinjamkan atau bahkan dihilangkan dari perpustakaan. Oleh sebagian masyarakat, buku juga masih dianggap sebagai barang yang mewah. Berdasarkan penelitian Komnas HAM di Papua, buku yang ditulis oleh Socratez Sofyan Yoman berjudul Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (Yogyakarta: Galang Press, Desember 2007), belum menceritakan semuanya, bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM. Menurut Stanley, berdasarkan penelitian Komnas Ham, kekerasan yang diceritakan dalam buku tersebut, masih belum seberapa dibandingkan hasil temuan dari Komnas Ham.
                Memperbanyak diskusi tentang pelarangan-pelarangan buku untuk menyadarkan masyarakat banyak, adalah salah satu cara, jelas Melani Budianta. Intelektualitas sebenarnya ada di masyarakat, bukan hanya milik Perguruan Tinggi, malahan jarang ada intelektual yang benar-benar intelektual.
                Jadi pada intinya, pelarangan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan mekanismenya jelas melanggar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang telah diadopsi dalam UUD 1945 Pasal 28, UU No.30 Tahun 1999 tentang HAM, UU No.12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, dan UU Pers No.40 Tahun 1999. Selain itu juga bertentangan dengan semangat reformasi 1998, sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. XVII Tahun 1998, juga tidak sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Diskusi Publik tentang pelarangan buku ini memang seharusnya dilakukan secara teratur dan di semua kota-kota di seluruh di Indonesia. (PA).





[1] Kumpulan Makalah Diskusi dan Katalog Acara “Pelarangan Buku : Menutup Jendela Dunia”, Diskusi Publik-Pameran-Pertunjukkan-Bazar Buku & Seni, Senin, 31 Mei 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar